Senin, 27 Desember 2010

Catatan Akhir Tahun 2010 (Sosial Dan Budaya)

Dalam usahanya memperkuat penjajahan di bidang politik dan ekonomi, sebagaimana sudah dijelaskan dalam catatan akhir tahun sebelumnya, pihak imperialis telah berusaha keras untuk menghancurkan jiwa dan karakter bangsa Indonesia.
Dengan mengobrak-abrik kehidupan sosial dan budaya, kaum imperialis percaya bahwa bangsa Indonesia tidak punya lagi kebanggan nasional, tidak punya lagi jiwa dan karakter sebagai sebuah bangsa, dan dengan demikian, sangat mudah untuk dipecah-belah dan dihancurkan.
Perjalanan bangsa selama setahun ini, tahun 2010, membenarkan hal itu, bahwa penetrasi imperialis paling nyata juga terjadi di lapangan sosial-budaya, yang ditandai dengan semakin tergerusnya martabat dan kehormatan bangsa kita.
Memproduksi Manusia Bermental Inlander
“Pada waktu itu kaum Bumiputra diinjak, diperas dan diambil kekuatan dan uangnya. Akan tetapi, bumiputera (lebih-lebih bangsa Jawa) yang biasa membedakan orang tinggi dan rendah, memandang bangsa Belanda sebagai bangsa yang tinggi….Mulai itu, mulai belanda disangka patut dihormati,” demikian ditulis Mas Marco Kartodikromo, seorang pejuang anti-kolonial Indonesia.
Pernyataan Mas Marco ini sangat tepat menyindir manusia-manusia baru di Indonesia, terutama mereka kaum intelektual dan kalangan elit, yang suka sekali memuji-muji keunggulan barat di luar batas.
Ini juga terlihat jelas di sebagian besar elit politik kita dan kelas menengah hasil didikan barat, khususnya kaum intelektual, yang cakrawala berfikirnya sangat disesaki ketundukan terhadap apa yang disebut “keunggulan barat”.
Mereka pula yang menjadi arsitek kebijakan neoliberal di Indonesia, menjadi pembela setianya, dan sekaligus kelompok sosial yang menikmati “keuntungan” dari proyek neoliberalisme di Indonesia.
Kapitalisme dan imperialisme memang berkepentingan untuk menciptakan perasaan inferior, rendah diri, perasaan tidak mampu kepada rakyat jajahan, agar mereka tidak pernah bertindak merdeka dan bebas dari kunkungan penjajah. Anehnya, perasaan inferior ini justru sangat mudah merasuknya di kalangan sebagian intelektual, yang selama ini dianggap sebagai kelompok tercerahkan.
Mereka pula yang paling berkontribusi dalam merusak bahasa nasional kita, yaitu bahasa Indonesia, dengan meluaskan penggunaan bahasa inggris dalam alam pergaulan mereka.
Mereka pula yang paling antusias, dan atas dukungan media massa yang dikontrolnya, mengelu-ngelukan kedatangan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, presiden negeri imperialis terbesar di dunia. Pantas saja mereka begitu gegap gempita menyambut obama, karena memang “way of life” mereka adalah Amerika.
Para inlander ini pula yang banyak bekerja untuk melayani kepentingn asing, seperti di lembaga-lembaga imperialis asing (USAID, Bank Dunia, dll), LSM/NGO pro-imperialis, dan perusahaan-perusahaan asing. Bahkan, tidak sedikit diantara kaum intelektual yang menjadi juru-bicara kepentingan imperialisme di Indonesia.
Menguatnya Pertikaian SARA
Tidak cukup dengan merusak mental dan jiwa bangsa Indonesia, kaum imperialis juga berusaha menghancurkan persatuan nasional, yaitu dengan memicu pertikaian suku, agama, dan ras di berbagai tempat.
Beberapa kejadian tahun ini cukup menyakiti perasaan nasional sebagai bangsa yang berlandaskan pada “bhineka tunggal ika”. Sebut saja, diantaranya, kasus penutupan gereja di berbagai kota, penyerangan terhadap jemaat HKBP, penyerangan terhadap jemaah ahmadiyah, dan penurunan patung budha di tanjung Balai.
Kelompok radikal kanan, misalnya Front Pembela Islam (FPI), menjadi salah satu tangan yang dipergunakan kaum imperialis untuk mengusik semangat “bhineka tunggal ika”. Meskipun organisasi seperti FPI dan radikal kanan lainnya sering mempergunakan sentimen anti-asing, namun tindakan politik mereka justru merusak persatuan nasional bangsa kita.
Selain itu, kerusuhan berbau SARA juga meletus di berbagai tempat, khususnya yang terjadi di Tarakan, Kalimantan Timur. Konflik-konflik horizontal juga mewarnai perjalanan bangsa kita dalam setahun ini. Konflik-konflik horizontal ini semakin dimungkinkan karena dipanas-panasi oleh ormas-ormas reaksioner.
Pendidikan dan Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM)
Meskipun persoalan putus sekolah sudah menjadi sorotan setiap tahun, namun pemerintah tetap saja tidak bisa mengatasi persoalan ini di tahun 2010 ini. Menurut catatan Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2010, terdapat 13 juta anak Indonesia yang terancam putus sekolah.
Anehnya, kendati pemerintah mengklaim telah menggratiskan biaya pendidikan untuk anak SD sampai SMP, tetapi kenyataannya para siswa justru dibebani begitu banyak biaya tambahan. Inilah mengapa banyak orang yang menyebut program pendidikan gratis SBY sebagai “gratis bohong-bohongan”.
Disamping itu, sampai tahun 2010 ini, masih ada siswa SD/SMP di Indonesia yang belajar dengan melantai, atau juga belajar di bawah kondisi ruangan yang buruk dan terancam roboh. Selain anggaran pendidikan yang sangat minim, situasi ini diperparah oleh praktik korupsi di dinas pendidikan.
Di tingkat pendidikan tinggi, para mahasiswa sedang berjuang keras melawan kenaikan biaya pendidikan akibat kebijakan neoliberalisme. Isu paling disoroti mahasiswa masih persoalan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), yang isinya memang sangat berbau neoliberal.
Sudah begitu, mahasiswa juga diperhadapkan dengan pasar tenaga kerja yang fleksibel, yang ditandai dengan pemberlakuan sistim kerja kontrak dan outsourcing. Untuk diketahui, jumlah keluaran Universitas yang menganggur setiap tahunnya mencapai 60%, sedangkan yang terserap lapangan kerja hanya 37%.
Ada kecenderungan yang semakin nyata, bahwa neoliberalisme hendak mengembalikan sistim pendidikan Indonesia seperti jaman kolonialisme dulu, dimana pendidikan hanya diberikan kepada golongan tertentu dan keluarannya pun sekedar menjadi pelayan sistem yang sedang berkuasa.
Budaya Individualisme
Sementara itu, gempuran budaya asing juga menciptakan apa yang disebut oleh pelukis revolusioner, Amrus Natalsya, sebagai masyarakat “happy”. Masyarakat happy ini, sebagaimana diterangkan Amrus, dicirikan oleh kecenderungan orang berfikir untuk dirinya sendiri dan kurang memikirkan kepentingan kolektif (umum).
Jika dulu orang Indonesia dikenal dengan semangat “gotong royong” dan solidaritasnya, maka sekarang anda jangan berharap bisa menumpang di rumah orang lain ketika terhalang oleh hujan lebat. Jika dulu orang luar disambut oleh masyarakat dengan tangan terbuka dan bersahabat, maka sekarang mereka disambut dengan rasa curiga dan bermusuhan: tudingan teroris, pengacau keamanan, dan sebagainya.
Ada banyak kejadian mengharukan di tahun 2010 ini, seperti ibu yang rela membunuh anaknya, bunuh diri secara mengenaskan, dan lain sebagainya, menjelaskan bahwa solidaritas dan kerjasama di kalangan rakyat sudah menipis. Beban seorang tetangga tidak lagi dirasa sebagai beban kita pula.
Budaya individualisme, terutama sekali, dipasokkan dan disebarluaskan oleh kalangan atas dan klas menengah. Mereka suka berkumpul dan berasosiasi berdasarkan hobby dan kesenangan mereka, sangat jarang asosiasi atau acara kumpul-kumpul sebagai sesama tetangga atau warga masyarakat.
Konsumerisme, misalnya, sangat berperan dalam menghancurkan budaya solidaritas, dan memaksakan setiap individu untuk memaksakan pencarian sumber-sumber keuangan untuk menopang belanjanya. Orang dipaksa dengan biaya hidup dan konsumsi yang tinggi, entah dengan utang ataupun menjual diri, sehingga berdampak pada kerusakan moral dan nilai kolektivitas.
Jika dicermati dalam laporan perbankan, kredit konsumsi malah tumbuh lebih pesat dibandingkan kredit modal kerja (KMK), dimana kredit konsumsi tumbuh 22,7% sedangkan kredit modal kerja hanya 20,1%. Ini dapat diartikan pula, bahwa orang indonesia lebih suka makan dan belanja ketimbang berproduksi.
Gempuran kebudayaan imperialis, terutama melalui iklan hingga film-filmnya, telah membius ratusan juta kaum muda kita, sehingga di kepala mereka hanya soal bagaimana berbelanja dan mengkonsumsi barang-barang terbaru.
Mereka bukan saja menciptakan ketergantungan rakyat terhadap barang impor dari negeri imperialis, lalu menghancurkan perekonomian nasional, tetapi juga membuat kebudayaan rakyat kita menjadi tidak produktif.
Perkembangan Olahraga
Praktek neoliberalisme, yang menghendaki segalanya membawa keuntungan (profit), turut berkontribusi negatif terhadap prestasi olahraga nasional, disamping karena praktik korupsi dan nepotisme di kubu pengurus cabang olahraga.
Di ajang perhelatan akbar Asian Games XVI di Guangzhou, Tiongkok, kontingen Indonesia hanya membawa pulang empat medali emas, sembilan perak, dan 13 perunggu. Ironisnya lagi, tiga dari empat emas Indonesia berasal dari cabang perahu naga yang sempat nyaris tidak diberangkatkan. Hasil ini sangat jauh dibawah prestasi negara tetangga, Malaysia dan Thailand.
Cabang Bulu tangkis, yang dulu pernah mengantarkan nama Indonesia di panggung internasional, juga sudah merosot. Di ajang piala Thomas 2010 di Malaysia, bulan Mei lalu, Indonesia gagal meraih juara setelah dikandaskan oleh Tiongkok dengan skor telak:0-3.
Meski begitu, Indonesia boleh tersenyum dengan prestasi pemuda-pemudi Indonesia di cabang olahraga angkat besi, yang berhasil menyumbangkan medali emas dalam kejuaraan dunia dan medali perak di Asian Games XVI.
Dan, setitik harapan kini sedang ditunggu-tunggu bangsa Indonesia dari ajang sepak bola di piala AFF Zuzuki 2010, dimana sekarang ini Indonesia sedang berlaga di final melawan Malaysia. Keperkasaan Indonesia di laga awal bukan saja menaikkan optimisme kebangkitan sepak bola, tetapi juga membangkitkan kembali “nasionalisme Indonesia” yang sedang terpuruk.
Sayang sekali, dalam laga pertama final piala AFF di Stadion Bukit Jalil, Malaysia, kesebalasan Indonesia ditekuk 0-3. Sebagian orang menganggap bahwa kekalahan ini akan mengakhiri efhouria nasionalisme, sementara yang lain memaki-maki politik pencitraan dan gaya bombastis media dalam menceritakan Timnas.
Namun, satu hal yang tidak dapat ditutupi, bahwa rakyat Indonesia sangat merindukan sebuah prestasi, bukan saja untuk mengangkat nama baik persepak-bolaan Indonesia tetapi juga untuk menyakinkan bahwa bangsa Indonesia masih bisa bangkit.
Perkembangan Seni-Budaya
Berita mengenai kriminalisasi KPK telah menyulut kemarahan rakyat di mana-mana, termasuk para pekerja seni. Mengawali tahun 2010, kaum seniman berpartisipasi dalam berbagai panggung seni mengecam korupsi dan menuntut skandal bank century segera dituntaskan.
Slank, salah satu group musik yang paling tegas menentang korupsi, mendapat cekal dari pihak berwajib dan baru dibolehkan konser pasca tanggal 2 Januari 2010. Sementara di bulan Februari, pemusik balada Indonesia, Iwan Fals, menggelar konser bertajuk “keseimbangan”, yang tidak lain dan tidak bukan juga merupakan judul album yang diluncurkannya.
Pada bulan Mei 2010, dunia perfilm-an Indonesia menghasilkan karya yang cukup inspiratif, yaitu film ‘Indonesia Tanah Air Beta, yang dikaryakan oleh Ari Sihasale. Film ini menceritakan kehidupan sosial-politik masyarakat pro-NKRI pasca referendum di perbatasan Indonesia-Timor Leste tahun 1999.
Kemudian, sutradara muda Hanung Bramangtyo memproduksi film berjudul “Sang Pencerah”, yang menceritakan perjuangan KH. Ahmad Dahlan dalam melakukan reformasi di dalam islam.
Dan, pada bulan Agustus, film kedua dari trilogi Merdeka, yaitu “Darah Garuda” diluncurkan menjelang peringatan HUT Kemerdekaan, sekaligus menjadi film perjuangan satu-satunya dalam beberapa tahun terakhir.
Meskipun begitu, jumlah film-film yang berbicara patriotisme, nasionalisme, ataupun kemanusiaan masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan film-film yang merusak mental dan karakter bangsa kita; film porno, film horor, film percintaan, dan lain sebagainya.
Film, lagu-lagu, majalah, tarian-tarian masih didominasi oleh kebudayaan imperialis, yang bersifat cabul, membodohi, dan merusak moral rakyat. Lihatlah bagaimana kasus video porno Ariel dan Luna Maya mendominasi pembicaraan sepanjang tahun ini.
Kemudian, akibat kehancuran karakter dan mental bangsa kita, karya-karya yang tidak mempunyai mutu sama sekali, seperti Sinta-Jojo dengan “Keong Racun-nya”, bisa meluncur cepat menjadi selebriti.
Begitu pula dengan film yang sangat melecehkan nasionalisme dan patriotisme pahlawan, yaitu “Laskar Pemimpi”, menjelaskan betapa rendah nasionalisme dan tidak bermutunya gagasan pekerja film. Mereka menggunakan segala macam cara untuk mencari popularitas, termasuk dengan melecehkan perjuangan bangsa.
Pada bulan Agustus, para pekerja seni yang tergabung dalam Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker) menggelar festival kemerdekaan, yang berlangsung selama sebulan penuh. Acara diiisi dengan diskusi, pameran lukisan, pementasan seni, pemutaran film, dan pengumpulan karya tulis mengenai perjuangan kemerdekaan.
Sampai akhir tahun 2010 ini, lapangan seni dan budaya kita masih terdominasi oleh kebudayaan asing, yang pada umumnya menawarkan apatisme, nihilisme, eksistensialisme, dan individualisme.
Sementara kebudayaan nasional, yang kata Pramoedya Ananta Toer, berakar pada kebudayaan daerah dan media baru yang diberikan dunia modern, semakin tersingkirkan dari panggung kebudayaan. Tidak seluruhnya memang, karena masih ada pekerja budaya yang tetap berjuang keras menyelamatkan kebudayaan rakyat ini.
Karya-karya literatur juga mengalami perkembangan signifikan, terutama penerbitan literatur progressif revolusioner. Orang dengan mudah dapat menerbitkan buku sekarang ini, bahkan temanya pun cenderung dilonggarkan.
Apalagi, sebagai hasil perjuangan keras para penulis dan intelektual progressif, maka Undang-undang Nomor 4/PNPS/1963 yang memberikan kewenangan Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran buku, telah dicabut Mahkamah Konstitusi (MK).
Kesimpulan: Penghancuran sosial-budaya untuk menaklukkan bangsa
Untuk melapangkan jalan penjajahan, neoliberalisme telah menargetkan penghancuran terhadap kehidupan sosial dan budaya.
Di lapangan kehidupan sosial, neoliberalisme telah mengubah masyarakat menjadi atom-atom yang terpisah satu sama lain, yang merasakan demoralisasi dan secara sosial tidak berdaya.
Di tengah kemiskinan dan kesenjangan sosial yang sangat lebar, masyarakat yang sudah tidak berdaya ini dikonflikkan satu sama lain, bahkan terkadang dengan membakar sentimen etnis, pribumi dan pendatang, agama, dan lain-lain.
Kesemuanya ini menjelaskan kepada kita, bahwa neoliberalisme bukan sekedar ideologi tentang penjarahan sumber daya alam dan pemiskinan, tetapi juga sebuah ideologi yang mengubah manusia menjadi “pasif, nihilis, dan tidak berdaya”. Masyarakat yang terfragmentasi ini, pada gilirannya, akan sulit mengejar kepentingan-kepentingan sosialnya, apalagi berbicara soal kepentingan nasionalnya.
Untuk menjajah jiwa dan kepribadian, Neoliberalisme memiliki sebuah pedang dengan kedua sisinya yang sangat tajam; individualisme dan konsumtivisme. Individualisme disebarkan melalui pola dan gaya hidup, dan metode fragmentasi sosial; proses penghancuran bentuk-bentuk kolektifisme dan komunalitas. Konsumtifisme juga demikian, dia menyerang sel-sel otak kira bagaikan virus mematikan.
Dengan demikian, terjadilah seperti apa yang dikatakan ahli linguistik Amerika, Noam Chomsky, bahwa neoliberalisme menciptakan manusia seperti kawanan gembala yang dapat dibawa kemanapun.
Dengan demikian, kami dapat menyimpulkan bahwa penghancuran sosial-budaya merupakan bagian dari proyek “penghancuran bangsa”, dan demikian, para kolonialis merasa yakin untuk berkuasa lebih lama lagi.

Sumber:berdikarionline
Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Catatan Akhir Tahun 2010 (Sosial Dan Budaya)"