Rabu, 13 April 2011
Editorial : Berdikari Online
Tanggal 9 April 1966 merupakan tanggal meninggalnya salah satu tokoh pergerakan nasional Indonesia, atau juga seorang tokoh bangsa, Sutan Sjahrir. Dalam rangka peringatannya, sebuah diskusi dilangsungkan di Newseum Café kemarin, Senin (11/3). Diskusi ini menghadirkan pembicara masing-masing sejarawan, Dr. Rusdi Husein, budayawan, Jokosaw, dan wakil dari Jaker, AJ. Susmana. Dari diskusi ini terangkat sebuah persoalan yang, baik oleh peserta diskusi maupun para narasumber, dipandang relevan dengan situasi Indonesia saat ini, yaitu menyangkut taktik-taktik politik dalam perjuangan melawan penjajahan bentuk lama (kolonialisme), dengan perjuangan menghadapi penjajahan bentuk baru atau neoliberalisme.
Adalah benar, bahwa tiap-tiap generasi menghadapi situasi yang berbeda, sehingga dibutuhkan taktik-taktik yang sesuai dengan konteks situasinya. Namun garis besarnya dapat dilihat dari sejarah yang tampak seperti berulang, dengan berakar dari situasi perkembangan kapitalisme di dunia. Indonesia menjadi bagian di dalam sistem dunia ini.
Pada masa pra-kemerdekaan, Soekarno beberapa kali menulis tentang “imperialisme modern”, termasuk dalam pledoinya berjudul “Indonesia Menggugat” di hadapan pengadilan kolonial. Sambil mengutip beberapa teoritisi Marxis, oleh Soekarno, “imperialisme modern” dijelaskan sebagai bentuk ekspansi kapital dari Eropa, untuk menemukan bahan mentah, mencari pasar, dan mencari sasaran eksploitasi tenaga kerja murah lewat investasinya. Imperialisme modern juga membawa serta “politik etis” dan “politik pintu terbuka” yang sedikit memberikan kebebasan. Saat itu, investasi di sektor industri terjadi dalam skala besar (terutama pabrik gula), demikian pula pembangunan infrastruktur (seperti jalan dan kereta api) untuk menyokong kebutuhan kapital.
Di masa rezim orde baru, dan terlebih sejak reformasi tahun 1998, investasi swasta asing yang eksploitatif justru telah dianggap sebagai malaikat penolong oleh pemerintah. Pembangunan infrastruktur pun terus dilakukan secara masif, dan hanya untuk memenuhi kebutuhan modal besar. “Politik pintu terbuka” terhadap kepentingan modal dari seluruh negeri pun sedang dijalankan. Nilai-nilai ‘etis’ diperkenalkan secara ilusif, seperti dalam konsep-konsep “demokratisasi”, “hak asasi manusia”, atau “pemerintahan bersih”, yang sesungguhnya tidak dapat berjalan di atas situasi penghisapan besar-besaran terhadap sumber-sumber kehidupan rakyat. “Imperialisme modern” yang lebih modern, sedang kembali mengambil tempatnya, baik di dunia maupun di Indonesia.
Sejarah mencatat kiprah tiap-tiap tokoh politik menghadapi “imperialisme modern” di jamannya. Di dalamnya terdapat persetujuan ataupun ketidaksetujuan, terhadap pemikiran dan sikap politik masing-masing; antara taktik konfrontasi dan diplomasi, pilihan merdeka bertahap atau merdeka 100%, memilih kawan dan lawan, dan sebagainya. Kondisi perjuangan ini tidak lepas dari situasi internasional yang krusial. Para tokoh dapat suatu waktu dituduh sebagai kolaborator Jepang (misalnya terhadap: Soekarno dan Hatta), antek Belanda (Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifudin), boneka Soviet (Muso dan Tan Malaka), atau bergerak tanpa kiblat internasional meski tak terhindar dari stempel tertentu. Namun, keseluruhan perdebatan tersebut tetap berada di atas satu platform, yaitu Indonesia Merdeka.
Tidak terkecuali bagi Sjahrir. Meskipun, banyak kritik dialamatkan kepadanya, yang dinilai sebagai sosok yang terlalu intelektualis, kebarat-baratan, dan bahkan sempat berada di kubu pemikiran anti-nasionalisme. Beberapa dari tuduhan tersebut dapat diklarifikasi, seperti dukungannya terhadap pemberontakan PRRI-Permesta, dan lainnya (seperti ketidaksepakatan dengan Soekarno mengenai konsep nasionalisme) dapat dikonfirmasi. Tetapi seperti apa pun kejadiannya, Sutan Sjahrir merupakan salah satu tokoh terpenting dalam tongkak sejarah kemerdekaan Indonesia.
Sekarang rakyat Indonesia membutuhkan kemerdekaan penuh dari penjajahan bentuk baru. Dalam perkembangan “imperialisme modern” yang lebih modern ini, dibutuhkan telaah dengan cakupan yang lebih luas, sesuai luasnya jangkauan masalah yang telah diciptakan oleh sistem ini, baik sektoral maupun teritorial. Masih belum cukup banyak rakyat yang mengetahui neoliberalisme dan dampak-dampaknya. Dan lebih tidak memadai uraian solusi, berupa taktik-taktik politik bagi massa rakyat menghadapi neoliberalisme yang hadir di berbagai lapangan kehidupan. Namun, di tengah kekurangan itu, usaha perlawanan telah terjadi, dan niscaya akan terus terjadi. Perjuangan kemerdekaan Indonesia telah melalui usaha yang berat, dan dengan dinamika yang hidup di tengah rakyat. Banyak bahan berharga dapat dipelajari dari sejarah ini. Karenanya, kajian-kajian yang sedang dan akan dilakukan mengenai gagasan di masa lalu maupun kontemporer, perlahan tapi pasti akan menjawab berbagai persoalan. Di sini, keterbukaan untuk menjalin persatuan nasional seluas-luasnya di atas kepentingan seluruh rakyat merupakan salah satu tawaran yang patut dipertimbangkan.
0 komentar: on "Dari Diskusi Tentang Sjahrir"
Posting Komentar