Latest Posts

Sabtu, 20 Agustus 2011

Pergerakan Di Indonesia


Oleh : Ir. Soekarno

Pergerakan tentu lahir

Toh……..diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau tidak diberi pegangan; diberi penguat atau tidak diberi penguat, — tiap-tiap makhluk, tiap-tiap umat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnya berbangkit, pasti akhirnya bangun, pasti akhirnya menggerakkan tenaganya, kalau ia sudah terlalu sekali merasakan celakanya diri teraniaya oleh suatu daya angkara murka! Jangan lagi manusia, jangan lagi bangsa,– walau cacing pun tentu bergerak berkeluget-berkeluget kalau merasakan sakit!

Seluruh riwayat dunia adalah riwayat golongan-golongan manusia atau bangsa-bangsa yang bergerak menghindarkan diri dari suatu keadaan yang celaka; seluruh riwayat dunia, menurut perkataan Herbert Spencer,[1] adalah riwayat “reactief verzet van verdrukte elementen”![2] Kita ingat pergerakan Yesus kristus dan agama Kristen yang menghindarkan rakyat-rakyat Yahudi dan rakyat-rakyat Lautan Tengah dari bawah kaki burung garuda Roma; kita ingat perjuangan rakyat Belanda yang menghindarkan diri dari bawah tindasan Spanyol; kita ingat pergerakan-pergerakan demokrasi kewargaan (burgerlijke democretie) yang menghindarkan rakyat-rakyat Eropa pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 dari bawah tindasan autokrasi dan absolutisme, kita menjadi saksi atas hebatnya pergerakan-pergerakan sosialisme yang mau menggugurkan takhta kapitalisme; kita mengetahui pergerakan rakyat Mesir di bawah pimpinan Arabi dan Zaglul Pasha[3] beserta pergerakan rakyat India dibawah pimpinan Tilak[4] atau gandhi melawan ketamakan asing; kita mengetahui perjuangan rakyat Tiongkok menjatuhkan absolutisme mancu dan melawan imperialisme Barat; kita telah bertahun-tahun melihat seluruh dunia Asia bergelora sebagai lautan mendidih menentang imperialisme asing, — tidakkah ini memang sudah terbawa oleh hakikat keadaan, tidakkah ini memang sudah terbawa oleh nafsu mempertahankan dan melindungi diri atau nafsu zelfbehound[5] yang ada pada tiap-tiap sesuatu yang bernyawa, tidakkah ini memang sudah “reactief verzet van verdrukte elementen” itu?

Rakyat indonesia pun sekarang sejak 1908 sudah berbangkit; nafsu menyelamatkan diri sekarang sejak 1908 sudah menitis juga kepadanya! Imperialisme-modern yang mengaut-ngaut di Indonesia itu, imperialisme-modern yang menyebarkan kesengsaraan di mana-mana itu, — imperialisme-modern itu sudah menyinggung dan membangkitkan musuh-musuhnya sendiri. Raksasa Indonesia yang tadinya pingsan seolah-olah tak bernyawa, raksasa Indonesia itu sekarang sudah berdiri tegak dan sudah memasang tenaga! Saban kali ia mendapat hantaman, saban kali ia rebah, tetapi saban kali pula ia tegak kembali! Sebagai mempunyai kekuatan rahasia, sebagai mempunyai kekuatan penghidup, sebagai mempunyai aji-pancasona dan aji-candrabirawa, ia tidak bisa dibunuh dan malah makin lama makin tak terbilang pengikutnya!

Amboi,– di manakah kekuatan duniawi yang bisa memadamkan semangat suatu bangsa, di manakahn kekuatan duniawi yang bisa menahan bangkitnya suatu rakyat yang mencari hidup, dimanakah kekuatan duniawi yang bisa membendung banjir yang digerakkan oleh tenaga-tenaga pergaulan hidup sendiri! Di manakah kebenaran jerita anggota-anggota dan sahabat-sahabat imperialisme yang mengatakan ini ialah bikinan beberapa kaum “penghasut”, yakni kaum “opruiers”[6] kaum “raddraaiers”,[7]kaum “ophitsers”[8] dan lain sebagainya dan yang oleh karenanya sama mengira bahwa pergerakan itu bisa dibunuh kalau “penghasutnya” semua dimasukkan bui, dibuang atau digantung? Puluhan, ratusan, ya, ribuan “penghasutnya” “opruiers” dan “ophitsers” sudah dibui atau dibuang,–tetapi adakah pergerakan itu berhenti, adakah pergerakan itu mundur, tidakkah pergerakan yang umurnya baru ± 20 tahun itu malahan semakin menjadi besar dan semakin menjadi umum?

“Man totet den Geist nicht”, begitulah Freiligrath menyairkannya,–“ orang tak bisa membunuh semangat”! Di dalam tahun 1900, yakni sebelum di sini ada “ophitsers”, sebelum di sini ada “raddraaiers”, Ir. Van Kol sudah mendengungkan peringatannya di dalam Tweede Kamer demikian:

“Teruslah……..sampai sekali waktu tiba akhirnya; sekali waktu, siapa tahu entah kapan, pasti meledak kekuatan rahasia”

Dan sesungguhnya, “kekuatan rahasia” itu sudah meledak! Seluruh dunia sekarang melihat bangkit dan bergeraknya kekuatan rahasia itu!

Seluruh dunia yang tidak sengaja membuta-tuli, mengertilah, bahwa kekuatan rahasia itu bukan bikinan manusia, tetapi bikinan pergaulan hidup yang mau mengobati diri sendiri. Seluruh dunia yang tulus hati mengertilah, bahwa pergerakan ini ialah antitesa imperialisme yang terbikin oleh imperialisme sendiri. Bukan bikinan “penghasut” bukan bikinan “opruiers”, bukan bikinan “raddraaiers”, bukan bikinan “ophitsers”—pergerakan ini ialah bikinan kesengsaraan dan kemelaratan rakyat! Ir. Albarda di dalam Tweede Kamer memperingatkan: [9].

“Diantara mereka, yang berwajib atau merasa wajib membicarakan peristiwa-peristiwa zaman di muka umum, ada yang senang menggambarkan pergerakan Bumiputra dan perkembangannya sebagai hasil pikiran-pikiran revolusioner Barat dan yang mengira bahwa pergerakan itu bisa ditindas dengan jalan menghadapinya dengan kebijakan pemerintah yang keras dan dengan mengerahkan polisi dan justisi melawan propagandis-propagandisnya. Pemandangan dan taktik yang demikian itu sangat dangkal dan menunjukkan bahwa mereka tidak punya pengertian sejarah dan tidak punya pengertian politik…. Pergerakan yang demikian itu terlahir dari keadaan-keadaan masyarakat dan dari perubahan-perubahan yang dialaminya. Pergerakan demikian itu juga akan lahir dan juga akan tumbuh, meskipun tidak pernah seorang Eropa yang revolusioner menjejakkan kakinya di Hindia. Pergerakan demikian itu, tumbuh terus, meskipun semua pemimpin dan propagandisnya dibasmi.

Seperti juga dalam abad ke-16 pergerakan kerkhervorming[10] tidak terhenti dengan memburu-buru kaum bid’ah, seperti juga dalam abad ke-19 demokrasi-sosial tidak bisa dihancurkan oleh politik penindasan dengan kekerasan oleh Bismarck, begitu juga dalam abad ke-20 pergerakan Bumiputra tidak bisa didorong ke belakang, bahkan tidak bisa diberhentikan oleh kebijaksanaan pemerintah yang reaksioner. Pergerakan itu tumbuh terus dan tidak usah diragu-ragukan, bahwa ia akan mencapai cita-citanya, yakni memerdekakan penduduk Hindia dari penjajahan asing!….”

Tuan-tuan Hakim barangkali berkata, “O, itu pemandangan kaum sosialis!”

Jika demikian, marilah kita dengarkan Dr. Kraemer, seorang yang bukan sosialis, menulis dalam Koloniale Studien[11]

“Di sinilah juga letaknya keterangan, mengapa oorang salah sangka sama sekali, apabila orang menyangka, bahwa apa yang disebut kebangunan dunia Timur itu atau di dalam lingkungan kita sendiri: pergerakan Bumiputra itu, hanya menjadi soal suatu lapisan Intelektuan yang tipis dan jumlahnya sangat kecil. Mau tidak mau “rakyat murba yang diam itu” juga ikut mendidih dalam kancah pergolakan itu”,

dan Prof. Snouck Hurgronje, yang juga bukan kaum dogma, yang toh juga bukan kaum pembuta-tuli mengikuti sesuatu kepercayaan, tempo hari berkata:

“Sumbernya”……dulu dan sekarang, bukan pemupukan beberapa ribu kaum intelektual, yang terlampau banyak mendapat pendidikan Barat dan tidak bisa ditampung oleh masyarakat Bumiputra, tapi rasa perlawanan di mana-mana terhadap penjajahan oleh orang-orang dari bangsa lain, rasa perlawanan yang kadang-kadang tampak keluar dan kadang-kadang tinggal terbenam……”[12]

Bahwasanya, matahari bukan terbit karena ayam jantan berkokok, ayam jantan berkokok karena matahari terbit! Dan dengan sedikit perubahan, maka kami dari sini, bagi kaum-kaum yang masih saja mengira bahwa pergerakan itu bikinan “penghasut” mengobarkan lagi api pidato Jean Jaures, kampiun buruh Prancis yang termashur itu, di dalam dewan rakyat Prancis terhadap wakil-wakil kaum modal:

“Ah, Tuan-tuan, alangkah anehnya Tuan-tuan sampai tersilaukan mata, dan mengatakan bahwa evolusi universal ini terjadi karena perbuatan beberapa orang saja! Tidakkah terkena hati Tuan-tuan oleh luasnya pergerakan kebangsaan sehingga terdapat di seluruh muka bumi? Dimana-mana, di semua negeri yang tidak merdeka, ia muncul pada waktu yang sama, semenjak sepuluh tahun yang kemudian ini, tidak mungkin lagi menggambarkan sejarah Mesir, India, Tiongkok, Filipina dan Indonesia dengan tidak juga menceritakan riwayat pergerakan nasional!… Dan di hadapan pergerakan umum yang menghela rakyat-rakyat Asia ini, rakyat-rakyat yang sangat berbeda satu sama lain, dalam iklim manapun mereka itu hidup, termasuk bangsa apa pun mereka itu,– di hadapan pergerakan yang demikian itulah Tuan-tuan bicara tentang beberapa orang Penghasut yang bertindak sendiri-sendiri. Tapi dengan menuduh seperti itu Tuan-tuan terlalu memberi penghormatan kepada orang-orang yang tuan tuduh, Tuan-tuan menganggap terlalu berkuasa orang-orang yang Tuan-tuan sebut penghasut itu. Bukanlah pekerjaan mereka sendiri meletuskan pergerakan yang demikian hebatnya; tarikan nafas lemah dari beberapa mulut manusia tidak cukup untuk meletuskan tofan bangsa-bangsa Asia ini!

Tidak, Tuan-tuan, yang sebenarnya ialah: pergerakan ini timbul dari pusat kejadian-kejadian sendiri; ia timbul dari penderitaan-penderitaan yang tidak terhitung banyaknya dan sampai sekarang tidak menghubungkan diri satu sama lain, tapi mendapatkan kata semboyannya dalam semboyan menyerukan merdeka. Yang sebenarnya ialah, bahwa juga di Indonesia pergerakan nasional itu terlahir dari imperialisme yang didewa-dewakan oleh Tuan dan tidak kurang-kurangnya dari sistem drainage ekonomi yang semenjak berabad-abad bekerja di negeri itu…..Imperialisme itulah penghasut yang besar, imperialisme itulah penjahat besar yang menyuruh berontak: karena itu bawalah imperialisme itu ke depan polisi dan hakim!”[13]

Benar sekali! “Bawalah imperialisme itu ke depan polisi dan hakim!”……

Toh….bukan imperialisme, bukan anggota-anggota imperialisme, bukan sahabat-sahabat imperialisme, bukan Treub, bukan Trib, bukan Colijn, bukan Bruineman, bukan Fruin, bukan Ali Musa, bukan Wormser, yang kini berada di muka mahkamah tuan-tuan Hakim,– tetapi kami: Gatot Mangkoepradja, Maskoen, Soepriadinata, Soekarno!

Apa boleh buat, biarlah nasib pemimpin begitu! Kami tidak merasa salah. Kami merasa bersih, kami tidak merasa melanggar hal-hal yang dituduhkan, sebagai nanti akan lebih jelas kami terangkan. Kami oleh karena itu, memang mengharap-harap dan menunggu-nunggu Tuan-tuan punya putusan bebas, mengharap-harap moga-moga Tuan-tuan mengambil putusan vrijspraak[14] adanya!

Tetapi, tuan-tuan Hakim, marilah kami melanjutkan kami punya pidato pembelaan.

“Ratu Adil”, “Heru Cakra”, dan lain sebagainya

Pergerakan rakyat indonesia bukanlah bikinan kaum “penghasut”. Juga sebelum ada “penghasut” itu, juga zonder ada “penghasut” itu, udara Indonesia sudah penuh dengan hawa kesedihan merasakan kesengsaraan dan oleh karenanya, penuh pula dengan hawa keinginan menghindarkan diri dari kesengsaraan itu. Sejak berpuluh-puluh tahun udara Indonesia sudah penuh dengan hawa-hawa yang demikian itu. Sejak berpuluh-puluh tahun rakyat Indonesia itu hatinya selalu mengeluh, hatinya selalu menangis menunggu-nunggu datangnya wahyu yang akan menyalakan api pengharapan di dalamnya, menunggu-nunggu datangnya mantarm yang bisa menyanggupkan sesuap nasi dan sepotong ikan dan sepotong ikan kepadanya. Haraplah pikirkan, Tuan-tuan hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya “Ratu Adil”, apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini hari masih terus menyalakan harapan rakyat,–apakah sebabnya seringkali kita mendengar bahwa di desa ini atau di desa itu telah muncul seorang “Imam Mahdi”, atau “Heru Cakra”, atau turunan seorang dari Wali-Sanga. Tak lain tak bukan ialah oleh karena hati rakyat yang menangis itu,” tak berhenti-hentinya, tak habis-habisnya menungu-nunggu atau mengharap-harapkan “datangnya pertolongan, sebagaimana orang yang berada dalam kegelapan tak berhenti-hentinya pula saban jam, saban menit, saban detik, menunggu-nunggu dan mengharap-harap: “kapan, kapankah matahari terbit?”

O, siapa yang mengerti akan sebab-sebab yang lebih dalam ini, siapa yang mengerti akan diepere ondergrond[15] dari kepercayaan rakyat ini, sebagaimana yang diterangkan pula oleh Prof. Snouck Hurgronje di dalam brosurnya “Vergeten Jubiles”[16], tentu sedih dan ikut menangislah hatinya, kalau ia saban kali mendengar suara rakyat meratap: “Kapan, kapankah Ratu Adil datang?”—tentu sedih dan menangislah hatinya pula dan tidak tertawa, jikalau ia saban kali melihat lekasnya dan setianya rakyat menyerahkan diri ke dalam tangan seorang kyai atau dukun yang menyebutkan diri “Heru Cakra” atau “Ratu Adil”!

“Selama kaum intelek Bumiputra belum bisa mengemukakan keberatan-keberatan bangsanya, maka “perbuatan-perbuatan yang mendahsyatkan” itu (yakni pemberontakan, Sk) adalah peledakan yang sewajarnya dari kemarahan yang disimpan-simpan dan perlawanan yang ditekan-tekan terhadap usaha yang bodoh untuk memerintah rakyat dengan tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh keinginan dan kepentingan-kepentingan mereka dan membikinnya jadi pedoman. Sebagaimana sekarang golongan-golongan besar dari bangsa Bumiputra senantiasa bersedia untuk dengan terus terang memihak kepada salah seorang intelektual bangsanya sendiri, yang dirasanya memperjuangkan kepentingannya, meskipun mereka itu “belum matang” untuk mengerti semua teori-teorinya, demikianlah mereka seringkali suka mengikuti pemimpin-pemimpin yang menjanjikan kepada mereka kemerdekaan yang bisa diperoleh dengan jalan rahasia dan dengan cara-cara rahasia, atau yang dengan cara sembunyi mengerahkan tentara untuk perang sabil dengan kaum kafir, bilamana ada kesempatan baik. Bahwa percobaan-percobaan yang demikian itu sia-sia saja, karena alat-alat untuk membuka jalan sama sekali tidak cukup, mereka tidak mengerti, dan demikianlah mereka menganggap setiap orang yang menjanjikan kepada mereka Ratu Adil, atau Mahdi atau pemerintahan yang adil, adalah nabi. Syarat-syarat hidup yang perlu, yang menurut perasaannya tidak diberikan kepadanya oleh alam, o;eh jalannya keadaan yang biasa, atau oleh penjajahan asing, mereka coba mencapainya dengan jala gaib yang luar biasa…dengan kepercayaan akan mendapat pertolongan tuhan,”

begitulah kata Prof. Snouck Hurgronje.

Dan sebagaimana sang kiai atau sang dukun itu bukan pembikin dari kepercayaan umum dan harapan umum atas kedatangan ratu Adil atau Heru Cakra itu, sebagaimana mereka mendapat pengaruh itu ialah, hanya oleh karena rakyat umum hatinya memang menangis mendoa-doa dan menunggu-nunggu datangnya Ratu Adil atau Heru Cakra itu, maka kami yang disebut “penghasut” bukanlah pula pembikin pergerakan rakyat sekarang ini dan bukanlah pula pengaruh kami itu terjadinya ialah oleh karena licinnya kami punya lidah atau tajamnya kami punya pena.

Pergerakan rakyat adalah bikinan kesengsaraan rakyat, pengaruh kami diatas rakyat adalah pula bikinan kesengsaraan rakyat! Kami hanyalah menunjukkan jalan; kami hanyalah mencarikan bagian-bagian yang rata dan datar untuk aliran-aliran yang makin lama makin membanjir itu;– kami hanyalah menunjukkan tempat-tempat yang harus dilalui oleh banjit itu, agar supaya banjir itu bisa dengan sesempurna-sempurnanya mencapai Lautan Keselamatan dan Lautan Kebesaran adanya…..

[1] Herbert Spencer (1820-1893); Seorang filusuf Inggris penganut empirisme.

[2] reactief verzet van verdrukte elementen= perlawanan terhadap elemen yang menindas.

[3] Arabi dan Zaglul Pasha, adallah pendiri partai Wafd di Mesir tahun 1918, diteruskan Mustafa Nahas Pasha dari 1927.

[4] Tilak, Bal Gangdhar (1956-1920): Politikus India yang bersama-sama Gandhi memimpin Partai Kongres, kemudian diteruskan oleh nehru.

[5] Zelfbehound= menolong diri sendiri (mandiri).

[6] Opruiers= penghasut-penghasut

[7] Raddraaiers= biang keladi

[8] Ophitsers= penghasut-penghasut

[9] Ir. Albarda, seorang sosialis Belanda di Tweede kamer, memberi peringatan kepada pemerintahnya pada tanggal 19 desember 1919.

[10] Kerkhervorming= pembaharuan gereja (Protestan)

[11] Dr.Kraemer (1888-19-) seorang ahli orientalis yang berada di Indonesia antara tahun 1921-1937, kemudian menulis buku “Koloniale Studien”, hal.5.

[12] Dikutip dari ;Colijn over Indie” hal.12.
[13] Dikutip dari pidato Jean Jaures (1859-1914) di Parlemen Prancis, tanggal 23 September 1903, “Rapport Jean Jaures” hal. 25, dengan sedikit perubahan.

[14] Vrijspraak= bebas dari tuntutan

[15] diepere ondergrond= rahasia yang lebih dalam

[16] Vergeten Jubile’s= peringatan ulang tahun yang dilupakan
read more...

Sabtu, 30 April 2011

Pernyataan Sikap LMND untuk Hari Buruh Internasional dan Hardiknas

Minggu, 01 Mei 2011
Oleh : Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi(LMND)

Hentikan Rezim Pembohong- Neoliberal
SBY-Boediono Bangun Persatuan Nasional
Untuk Kedaulatan dan Kemandirian Nasional

Kita sulit menemukan penjelasan rasional ketika harapan perbaikan kehidupan rakyat Indonesia dapat dibangun oleh Pemerintah SBY-Boediono diatas fondasi kebijakan Neoliberal yang menghancurkan kepentingan nasional. Bagaimana mungkin pemerintahan SBY-Boediono dapat menciptakan lapangan kerja jika sumber-sumber energi dan perekonomian nasional dari hulu sampai ke hilir justru diserahkan kepada asing.

Data Forum Rektor Indonesia pada 2007 menyebutkan bahwa dominasi korporasi asing yang saat ini menguasai 85,4% konsesi pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa Efek Jakarta, dan lebih dari separuh (50%) kepemilikan perbankan di Indonesia. Sektor ekonomi yang penting seperti perkebunan, ritel, telekomunikasi, transportasi penerbangan, air minum, dan sektor strategis lainnya juga telah dikuasai oleh asing. Sehingga tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi, yang diklaim pemerintah naik saat ini, tidak lain hanyalah pertumbuhan semu yang hanya dinikmati segelintir orang kaya.

Sungguh ironis ketika ada 150 orang terkaya Indonesia sekarang ini menguasai Rp 650 triliun rupiah, tetapi ada 105 juta lebih orang miskin, yang harus cukup dengan 18.000 per hari. Kehidupan mayoritas rakyat Indonesia saat ini hidup dari sector informal (72,7 juta) dan untuk bertahan hidup harus bersandar pada konsumsi yang dibiayai melalui utang, seperti kredit konsumsi, program sosial neoliberal (BLT, KUR, BOS, PNPM, dan sebagainya) yang dibiayai dengan utang, program stimulus ekonomi yang juga dibiayai utang, hingga kenaikan gaji PNS dan TNI/Polri yang juga dibiayai dengan utang.

Bersamaan dengan proses penghancuran ekonomi nasional, sistem pendidikan nasional dibawah pemerintahan SBY-Boediono tidak lebih daripada praktek Politik Etis di zaman Kolonial. Pendidikan nasional tidak diarahkan untuk menciptakan Sumber Daya Manusia yang berkualitas sehingga dapat mengolah dan meningkatkan nilai tambah dari kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa.

Pendidikan nasional telah diselewengkan hanya untuk memenuhi pasar tenaga kerja murah dan pelayan jasa bagi modal-modal internasional yang telah mengeruk kekayaan alam bangsa ini. Menurut data, preferensi pekerjaan yang banyak diisi oleh lulusan perguruan tinggi adalah bidang jasa (52 persen), perdagangan, hotel, restoran (14 persen), dan pertanian (10 persen).

Bidang industri pengolahan hanya diminati oleh 8 persen lulusan. Sehingga tidak mengherankan jika saat industry nasional mengalami kehancuran, sistem pendidikan nasional justru menciptakan barisan pengangguran terdidik yang terus meningkat setiap tahunnya.

Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah pengangguran terbuka (S-1) pada Februari 2007 sebanyak 409.900 orang. Setahun kemudian, pada Februari 2008 jumlah pengangguran terdidik bertambah 216.300 orang atau menjadi sekitar 626.200 orang.

Jika setiap tahun jumlah kenaikan rata-rata 216.300, maka pada Februari 2011 telah terjadi peningkatan pengangguran terdidik S1 sejumlah terdapat 1.275.100 orang. Jumlah ini belum ditambah dengan pengangguran lulusan diploma (D-1, D-2, D-3) dalam rentang waktu 2007-2010 saja tercatat peningkatan sebanyak 519.900 orang atau naik sekitar 57%.

Sementara itu, anggaran pendidikan sebesar 20% APBN yang selama ini digembar-gemborkan oleh pemerintah dalam realisasinya justru bukan didasarkan pada total jumlah APBN sebesar 1.229,5 trilliun. Fakta ini disampaikan oleh Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan, Hekinus Manao, bahwa pemenuhan amanat undang-undang dalam penyaluran anggaran pendidikan sebesar 20% diambil dari pos belanja pemerintah pusat pada APBN yang besarnya Rp 410,4 trilliun (Suara Pembaharuan, 2010).

Sehingga tidak mengherankan jika pendidikan nasional tidak menunjukkan perbaikan terhadap akses terhadap mayoritas rakyat miskin, kualitas sarana infrastruktur, kurikulum, tenaga pengajar dan kualitas lulusannya.

Dibawah Pemerintahan SBY-Boediono saat ini, kehidupan rakyat Indonesia telah nyata dikembalikan pada kondisi kolonial. Dan untuk melanggengkan kekuasaannya, kolonialisme akan terus melanggengkan keterbelakangan, kebodohan dan mentalitas inlander suatu bangsa.

Untuk memutus mata-rantai itu, bangsa ini membutuhkan pemuda-pemuda cerdas dan progressif, yang sanggup menjadi pembawa “obor” pencerahan untuk kemajuan bangsanya. Oleh karenanya, pada peringatan hari Buruh Se Dunia dan Hari Pendidikan Nasional 2011 ini, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi menegaskan bahwa jalan untuk bangkit mandiri dari keterpurukan bangsa saat ini adalah :

1.Melakukan Pencabutan terhadap berbagai UU yang berbau neoliberal (yang dibiayai oleh aing),UU 25/2007 tentang Penanaman Modal , UU 21/2002 tentang Ketenaga Listrikan,UU 2/2001 tentang Minyak dan Gas, UU 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau , UU 19/2003 tentang BUMN, RUU Pertanahan.

2.Melakukan nasionalisasi terhadap pertambangan asing dan sector-sektor strategis lainnya bagi pembangunan industry nasional.

3.Hapus hutang luar negeri yang menjadi instrument menciptakan ketergantungan terhadap ekonomi dan politik nasional serta membebani APBN.

Akhir kata, kami mengajak kepada seluruh gerakan rakyat, pemuda, mahasiswa dan pelajar untuk membangun dan memperkuat persatuan nasional guna meng-HENTIKAN pemerintahan Neoliberal SBY-Boediono.
read more...

Senin, 18 April 2011

Gerakan Pemuda dan Mahasiswa Menggelar Konferensi Pers

Senin, 18 April 2011

Jakarta–Gerakan pemuda dan Mahasiswa yang terdiri dari PMKRI,IMM,LMND, PMII,PII,SMI,KMHDI,KAMTRI,SENAT UKI,HIMAH,HMI MPO,dan GMKI, menggelar konferensi pers “Perubahan sudah tidak bisa ditunda” di Gedung Joang 45 JL. Menteng Raya 31, Jakarta Pusat.

Mereka mengajak seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Marauke bergerak bersama-sama mewujudkan 7 cita-cita perubahan diantaranya Indonesia merdeka dari penjajahan gaya baru demi terwujudnya kedaulatan dan kemandirian bangsa dan supermasi hukum tanpa diskriminasi.

Dalam konferensi pers itu, organisasi yang tergabung dalam Gerakan Pemuda dan Mahasiswa berbicara soal agenda perubahan Negara. Mereka menyimpulkan fakta historis telah mencatat peran strategis Pemuda dan Mahasiswa dari masa kemasa dalam mengawali pergerakan menuju perubahan dan cita-cita Bangsa dan Negara ini, kata Marsel saat membacakan kesimpulan konferensi pers.

Tak hanya itu Marsel menjelaskan, pergerakan pra-kemerdekaan dan pasca kemerdekaan tak terlepas partisipasi aktif Pemuda dan Mahasiswa. Lanjutnya tujuan utama gerakan meniadakan bentuk penindasan, mengangkat harga diri Bangsa yang merdeka serta kemandirian dalam segala aspek kehidupan.

Frase yang tepat untuk menggambarkan pelbagai kondisi Bangsa Indonesia saat ini, pemimpin yang mengalami impotensi moral, pejabat eksekutif maupun legislatif yang bermental budak.

Kemiskinan yang akut, biaya pendidikan mahal, penjualan kekayaan alam kapada pemodal Asing, tandasnya. Menjauhi persatuan, serakah kekuasaan dan tak berjiwa Pancasila.

Perampok tanah milik Rakyat, pengingkaran terhadap kebhinekaan Indonesia merupakan masalah yang mengerogoti dan mengancam Indonesia, kata Marsel. Kini akibatnya cita-cita kemerdekaan Indonesia untuk melindungi segenap Bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan Bangsa hanya menjadi formalisme dan deretan kalimat indah semata.( NSR )
read more...