Oleh : Lamen Hendra Saputra*
Pada tahun 1930-an, Soeratin dan kawan-kawan seperjuangannya telah memotori berdirinya organisasi sepak bola, yaitu Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI), yang diperuntukkan untuk perjuangan anti-kolonial. Dalam menjalankan perjuangan anti-kolonialnya, tidak jarang PSSI harus berseteru dengan perkumpulan sepak bola kolonial Belanda, yaitu Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB), bahkan seringkali terjadi aksi boikot pertandingan antara PSSI dan NIVB.
Kini, 80 tahun setelah peristiwa itu, giliran PSSI yang mulai digugat dan diboikot oleh sebagian masyarakat sepak bola Indonesia. Beberapa hari terakhir, masyarakat pencinta bola menyaksikan bagaimana pertikaian antara PSSI dengan Liga Primer Indonesia (LPI), sebuah kompetisi baru di luar kompetisi resmi milik PSSI, Liga Super Indonesia (LSI).
Sekarang ini, PSSI dipimpin oleh orang yang pernah tersandung kasus korupsi, yaitu Nurdin Halid. Tidak sedikit poster dan kecaman yang ditujukan terhadap terdakwa kasus dana simpan pinjam petani cengkeh (SWKP) sebesar Rp115,7 milyar ini, diantaranya: “Nurdin Mundur, Nurdin koruptor!”
Terkait maraknya praktik korupsi di tubuh PSSI, seorang wartawan Kompas, Anton Sanjoyo, pernah membeberkan beberapa dugaan korupsi di organisasi sepak bola nasional tersebut. Anton mengutip pernyataan dari Ketua Umum Persebaya Surabaya, Saleh Ismail Mukadar, yang terang-terangan menyatakan bahwa sepak bola di lingkungan PSSI, termasuk Liga Super Indonesia, sarat dengan suap dan pengaturan hasil. Hampir semua manajer dan wasit pernah melakukan suap dan disuap.
Jika pada masa perjuangan kemerdekaan PSSI telah menjadi organisasi politik anti-kolonial, maka sekarang PSSI telah berubah menjadi “sarang koruptor”. Jika dulu orang-orang PSSI adalah para pejuang anti-kolonial, maka sekarang ini isinya kebanyakan orang-orang yang hendak mencari “fulus”.
Sejarah kelahiran sepak bola Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan anti-kolonial. Karena itu pula, ajang kejuaraan sepak bola seringkali menjadi tempat untuk bergeloranya semangat nasionalisme. Bukankan Soeratin pernah berkata dengan sangat tepat: “Kalau di sepak bola kita bisa mengalahkan Belanda, kelak di lapangan politik pun kita bisa mengalahkan Belanda”.
Oleh karena itu, persoalannya bukan ikut “nimbrung” dalam pertikaian PSSI versus LPI, tetapi mendesakkan perombakan total terhadap PSSI. Sudah tiba saatnya mengembalikan PSSI sebagai organisasi politik anti-kolonial, dan juga dengan mengembalikan sepak-bola sebagai sarana perjuangan anti-kolonial.
* Ketua Umum EN LMND
0 komentar: on "Revolusi PSSI"
Posting Komentar